PENGAJIAN: bersama warga muslim lintasbangsa, Slamet melangsungkan kegiatan di masjid di Kota Perth. Masjid tersebut bekas gereja.
---
Penduduk New Zealand dan Australia terdiri dari beragam etnis dan latar belakang kebudayaan. Selain penduduk asli, mereka juga berasal dari berbagai penjuru dunia.
AGAMA yang mereka yakini pun beragam. Ada Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, Shinto, dan agama-agama lain yang dibawa dari negara asalnya. Mereka beribadah sesuai keyakinan masing-masing secara bebas. Kedua negara ini tidak mencampuri urusan penduduknya dalam menjalankan agama dan beribadah. Di kartu tanda pengenal penduduk, jika di Indonesia seperti SIM atau KTP dan format-format isian formulir untuk keperluan apa pun, tidak ada keterangan atau kolom pertanyaan tentang agama. Karena itu, jika kita berada di benua Australia, jangan pernah bertanya: "Apa agamamu?". Mereka mungkin akan tersinggung dan menganggap itu pertanyaan itu sebagai silly question atau pertanyaan bodoh.
Seiring bergulirnya era post modernism, generasi muda di New Zealand dan Australia kini memiliki kecenderungan tidak menganut agama. Mereka beranggapan agama merupakan ritual kuno nenek moyang dan tidak jamannya lagi menjalankankannya. Ketika tinggal di Kota Auckland New Zealand, saya tinggal satu apartemen dengan seorang warga asing berkebangsaan Jerman. Dia tidak beragama, dan menganggap siklus kehidupan manusia tidak ubahnya dengan makhluk hidup lain, semisal pohon atau binatang. Mereka dilahirkan ke dunia dan akhirnya mati menjadi tanah. Mereka tidak mempercayai alam kubur dan alam akhirat. Kenyataan ini saya jumpai pula ketika saya tinggal di Kota Perth, Australia. Suatu ketika saya bertemu dengan teman-teman mahasiswa post graduate (pasca sarjana) pada suatu acara. Mereka menyatakan tidak memilih satu agama apa pun dalam menjalani kehidupannya. Mereka menjalankan kehidupan sebagaimana yang berlaku pada kehidupan post modernism. Karena itu, tidaklah mengherankan jika beberapa gereja-gereja sepi. Beberapa diantaranya beralihfungsi menjadi masjid.
Fenomena penjualan gereja pernah saya jumpai di Auckland New Zealand, dan fenomena gereja diubah menjadi masjid saya jumpai di Kota Sydney Australia sewaktu saya dan keluarga berkunjungan selama sepuluh hari ke negara bagian ini.
Apakah praktik post modernism dan paham tidak beragama telah masuk Indonesia umumnya dan Jawa Timur khususnya? Perlu kajian tertentu untuk menjawab pertanyaan ini. Yang tampak adalah fenomena permukaannya. Sekilas, masjid-masjid dan musala sepi kegiatan. Tetapi, jalanan dan tempat-tempat tertentu ramai dikunjungi orang. Pada malam tahun baru, banyak remaja dan pemuda melampiaskan kegembiraannya tanpa menyadari tujuan kegiatannya.
Untuk menjalankan peribadatan, saya tidak mengalami permasalahan berarti meskipun mayoritas penduduk negara itu adalah non-muslim. Pengalaman saya ketika menempuh program master di University of Auckland New Zealand, tempat salat telah disediakan di salah satu ruang perpustakaan. Untuk menjalankan salat Jumat, ada dua pilihan: salat di kampus atau di masjid umum. Kalau salat Jumat di kampus, kami menggunakan salah satu ruang kelas dengan memindahkan sementara bangku-bangku terlebih dahulu. Kalau di masjid umum, kami harus menempuh perjalanan sekitar 30 menit dengan bus kota. Asyiknya kalau salat di masjid umum. Sebab, kami dapat berjumpa dengan orang-orang dari berbagai negara Islam dan dapat membeli nasi 'kebuli' yang dijual oleh orang India. Bagaimana kalau waktu salat bersamaan dengan jam kuliah? Saya senantiasa membawa sajadah di tas saya. Bila waktu salat (Dhuhur atau Asar) bersamaan dengan jam kuliah, saya berangkat lebih awal, masuk ruangan kelas dan salat di ruangan itu. Bila teman-teman datang terlebih dahulu dari pada saya, maka saya minta izin teman-teman untuk mengerjakan salat di ruang itu pula. Mereka sangat menghargai dan sangat besar toleransinya kepada pemeluk agama apa pun.
Lain di New Zealand lain pula di Australia. University of Western Australia telah menyediakan sebuah ruang untuk kegiatan peribadatan mahasiswanya yang muslim. Ruangan ini cukup besar, memiliki dua lantai: lantai atas untuk perempuan dan lantai bawah untuk laki-laki. Ruangan ini dilengkapi kunci digital dengan kode rahasia. Hanya mahasiswa muslimlah yang mengetahui kode kunci rahasia ini. Kegiatan salat dhuhur, asar dan salat Jumat dilaksanakan di ruang ini. Terkecuali bila jamaah salat Jumat membeludak dan ruangan ini tidak dapat menampung, maka pengurus Asosiasi Mahasiswa Islam tingkat universitas akan mencarikan tempat yang lebih luas, terkadang di hall (aula) atau di tempat terbuka. Yang mengejutkan saya adalah di sebuah perkantoran dan mall di daerah Harbour Town, Perth tersedia ruangan salat yang bersih, rapi, sunyi dan dilengkapi tempat wudlu yang baik.
Pelajaran yang dapat saya petik adalah, mereka yang nonmuslim sangat menghormati dan toleran kepada pemeluk Islam dengan menyediakan tempat salat yang memenuhi syarat. Bagaimanakah di Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam? Adakah tempat salat yang memadai di pertokoan atau mall, di kantor-kantor atau di tempat kerja di Indonesia? Saya menyaksikan di beberapa kantor dan tempat kerja bahwa tempat salat berada di bawah tangga, sempit, tidak layak alasnya dan pengap. Bahkan ada kantor atau tempat kerja yang tidak memiliki tempat salat.
Saturday, March 14, 2009
Toleransi Warga Australia dan New Zealand terhadap Muslim
Author: rendyramadhan@blogspot.com
|
at:Saturday, March 14, 2009
|
Category :
Fakta
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Beri Komen Klik Sini:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Post a Comment
Woy.. Jgn spamming ea..