Saturday, April 4, 2009

Fanatiklah pada Cinta, Bukan pada Agama

Fanatisme cinta berbeda dengan agama lain/fanatisme cinta adalah terhadap Yang Maha Cinta/tujuan pecinta bukan seperti tujuan lain/cinta adalah kompas langit menuju misteri Tuhan. — Jalaludin Rumi

jalaludin-rumi Fanatiklah pada cinta, bukan agamaBanyak yang menganggap sumbangan terbesar Rumi pada agama adalah aliran sufi Mawlawiyah dan tarian berputar yang seperti gasing. Sesungguhnya aliran Rumi jauh lebih agung dari itu. Sumbangan terbesar Rumi terhadap Islam dan agama bukan terletak pada terbentuknya Tarekat Mawlawi, tarian berputar [raqs sema’], ataupun berzikir dengan diiringi musik [sema’]. Rumi bahkan mungkin tak pernah ingin mengkotakkan cara beragamanya dalam tarekat tertentu.

Baginya, agama tak membutuhkan asabiyah [fanatisme kelompok]. Karena agama seluas cinta, dan hanya cinta yang dapat membawa kita kepada Tuhan.

Ajaran Mawlana Rumi yang universal dan menembus batas-batas golongan ini adalah sebuah perlawanan terhadap semangat untuk menjadikan agama sebagai pembenaran terhadap penaklukan dan fanatisme golongan. Rumi — yang berarti orang Romawi — seakan ingin melawan keinginan para penguasa kekhalifahan Turki untuk melakukan ekspansi besar-besaran, demi terbentuknya kembali kerajaan besar setelah Romawi Bizantium musnah di negeri itu. Lewat tafsir cintanya, Rumi seakan menolak penggunaan agama sebagai alat untuk mengobarkan perang.

Ajaran Rumi tentang cinta dipengaruhi oleh pertemuannya dengan Shams-e Tabrizi, sang darwish yang berkeliling Timur Tengah untuk mencari “formula” tepat menjadi insan kamil atau manusia sempurna. Dan Shams, dalam dialognya dengan Rumi, seperti Khidr dengan Musa, mengajarkan akan cinta. Dalam bukunya yang ditulis di kemudian hari dan menjadi paling terkenal, Matsnawi, perjalanan Musa dan Khidr mendapatkan porsi besar, terutama di bagian penutup. Kisah yang terangkum dalam surat Al-Kahfi itu memang menarik perhatian banyak sufi. Kisah penuh misteri, yang mengajarkan orang untuk melihat kejadian bukan hanya pada yang tampak di depan mata.

Namun pertemuannya dengan Tabrizi tak berlangsung lama. Teman diskusinya itu ditemukan tewas, justru tak lama setelah berdialog panjang di suatu malam dengan Rumi. Sebagai tanda cintanya kepada Tabrizi, Rumi kemudian menulis kumpulan puisi yang kemudian dikenal dengan Divan-e Shams-e Tabrizi.

Kenapa aku harus mencari?
Aku sama dengannya
Jiwanya berbicara kepadaku
Yang kucari adalah diriku sendiri!

Sepuluh tahun setelah kematian Tabrizi, Rumi kemudian menggubah ghazal [puisi cinta] yang dikumpulkan dalam Divan-e Kabir atau Diwan Agung.

Cinta dan keindahan membuat ajaran Rumi berbeda dengan aliran tarekat lain. Sejumlah tarekat saat itu lebih banyak berkonsentrasi untuk menyempurnakan diri menuju insan kamil lewat ibadah, wirid, atau menyodorkan faham ketauhidan baru. Penyatuan diri dengan Tuhan [wihdatul wujud] yang berkembang berabad-abad sebelum Rumi di Bagdad adalah salah satu cara pencapaian menuju Tuhan yang tidak dipilih Rumi.

Sebagai seorang hakim yang paham syariat, Rumi tidak memasukkan dirinya dalam ritual yang kontroversial. Dan sebagai seorang seniman, ia memiliki cara sendiri dalam mencapai kesempurnaan dalam beragama tanpa harus menjadi ekstrem. Ia memanfaatkan puisi, musik dari seruling dan gitar [rebab] untuk mengiringi dzikir. Cara ini kemudian dikenal dengan sema’ yang berarti mendengar. Dengan arti yang sedikit berbeda, pesantren-pesantren di Jawa memiliki ritual bernama semaan.

Rumi meninggal dan dikubur dalam Kubah Hijau [Qubat-ul-Azra’] yang bertuliskan “Saat kami meninggal, jangan cari kuburan kami di tanah, tapi carilah di hati manusia.” Namun ritual sema’ itu tak ikut mati. Para pengikutnya, terutama anaknya, Sultan Veled Celebi, melembagakan ajaran itu dalam tarekat bernama Mawlawiyah atau Mevleviye.

Aliran Mawlawiyah ini terkenal dengan cara dzikir yang berbeda. Jika para sufi berdzikir sambil bersila dan menggoyang-goyangkan kepala, para darwish di aliran ini justru berdiri dan menari berputar-putar seperti gasing. Jubah mereka berkembang seperti teratai di atas air. Dzikir mereka tidak hanya diiringi oleh bacaan Al-Quran dan puji-pujian pada Nabi, tapi juga suara seruling dan rebab serta fabel dari puisi-puisi Rumi. Dalam tarian ini para darwish mengenyampingkan nafsu dan ego mereka dan berkosentrasi pada musik dan lirik yang dimainkan para mawlana. Mereka berputar seperti planet-planet dan elektron dalam dunia makro dan mikro-kosmos.

Pada perkembangannya, aliran sufi ini justru mampu menarik perhatian para petinggi di Kesultanan Ottoman. Bahkan di masa inilah Mawlawiyah mampu menghasilan sejumlah penyair dan musisi legendaris seperti Sheikh Ghalib, Ismail Ankaravi yang berasal dari Ankara, dan Abdullah Sari. Bahkan ada yang mengatakan masuknya nay atau seruling ke dalam peradaban Eropa adalah berkat merambahnya aliran Mawlawiyah ke daerah “jajahan” Ottoman di Eropa.

Dengan aliran inilah ajaran cinta Rumi tersebar ke seluruh dunia. Manusia diciptakan dengan cinta untuk cinta. “Semua cinta adalah jembatan menuju Sang Maha Kasih. Karenanya, yang tak pernah merasakan cinta, tak akan pernah mengetahuinya,” kata Rumi.

0 Beri Komen Klik Sini:

Post a Comment

Woy.. Jgn spamming ea..

Di Klik Ane Doain Lancar Rejeki! :)